Selasa, 27 Maret 2018

HUKUM PERJANJIAN DAN HUKUM DAGANG

HUKUM PERJANJIAN DAN HUKUM DAGANG

Disusun Oleh :
Alfian Wahyu W (20216566)
Arif Rahman May S (21216065)
Aulia Fauzy P (21216196)
Tasman (27216304)

Kelas : 2 EB 18


UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2017/2018
Hukum Perjanjian
Janji adalah akad, ijab, kesanggupan, kesepakatan, komitmen. Perjanjian adalah perikatan di mana hak dan kewajiban yang timbul dikehendaki oleh para pihak (subyek hukum). Setiap orang berhak mengadakan perjanjian, dengan syarat perjanjian itu memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

a. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian(konsensus); Persetujuan kehendak ini sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan atau tekanan baik berupa kekerasan fisik atau upaya untuk menakut-nakuti  dari pihak manapun juga agar orang tersebut mau menyetujui perjanjian, persetujuan membuat perjanjian ini benar-benar keinginan sukarela para pihak. Dalam hal ini juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan. Suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat kekhilafan atau penipuan maka perjanjian tersebut menjadi batal.

b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (capacity);
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian di sini maksudnya adalah pihak yang membuat perjanjian telah dewasa sehingga ia dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Dewasa dalam hal ini artinya ia telah berumur 21 tahun atau sudah menikah sebelum berumur 21 tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, di bawah pengampuan, dan wanita bersuami.

c. Suatu hal tertentu (objek);
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata prestai atau objek hokum dibedakan atas:
Memberikan sesuatu;
Berbuat sesuatu;
Tidak berbuat sesuatu.
d. Suatu sebab yang halal (causa).
Sebab yang halal berdasarkan Psal 1320 KUHPerdata ini memiliki arti tentang isi perjanjian itu, bukan merupakan sebab yang mendorong seseorang membuat suatu perjanjian.
Syarat (a) dan (b) yang dikemukakan di atas tadi disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri  orang yang mengadakan perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Dalam keadaan ini maka akibat-akibat yang timbul dari perjanjian itu dikembalika ke keadaan semula sebelum diadakannya perjanjian.
Syarat  (c) dan (d) disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang dijadikan objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum dengan dimintakan pembatalan kepada hakim.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut kemudian mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu “Semua perjanjian yang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang mempunyai kekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.  Jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, maka dianggap sama dengan melanggar undang-undang, sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum.

Berdasarkan kedua Pasal di atas tadi, maka setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan isi pasal-pasal tersebut. Perjanjian seperti ini disebut  mempunyai “sistem terbuka”, karena  dapat dilakukan oleh setiap orang. Adapun macam perjanjian ini adalah:
·       Perjanjian jual beli
·       Perjanjian sewa-menyewa
·       Perjanjian pinjam-meminjam
·       Perjanjian tukar-menukar
·       Perjanjian kerja
·       Perjanjian hibah
·       Perjanjian penitipan barang
·       Perjanjian pinjam-pakai
·       Perjanjian pinjam-mengganti
·       Perjanjian penanggung utang
·       Perjanjian untung-untungan
·       Perjanjian pemberian kuasa dan
·       Perjanjian perdamaian.
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Asas-asas tersebut, adalah:
a. Asas kebebasan berkontrak
Berdasarkan asas ini setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baikyang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Namun kebebasan ini dibatasi oleh 3 hal, yaitu:
Tidak bertentangan dengan Undang-undang;
Tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
Tidak bertentangan dengan kesusilaan.
b. Asas pelengkap Asas ini mengandung arti jika ada hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak, maka berlaku ketentuan undang-undang. Hal ini hanya berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak.
c. Asas konsensual
Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara para pihak, dan sejak saat itu timbul hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.

d. Asas obligator
Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat para pihak hanya baru menimbulkan hak dan  kewajiban saja, belum terjadi peralihan hak milik. Hak milik beralih apabila dilakukan perjanjian yang bersifat kebendaan, yaitu melalui penyerahan (levering).
Jenis-jenis perjanjian berdasarkan kriterianya:

a.      Perjanjian timbal balik dan sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik. Misalnya perjanjian jual beli, dalam perjanjian ini pihak pembeli wajib menyerahkan uang sebagai bukti pembayaran dan pihak penjual wajib menyerahkan barang yang dijualnya.

b.     Perjanjian bernama dan tak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri dan ddiatur KUHPerdata dan KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

c. Perjanjian obligator dan kebendaan
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban.Perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang untuk memindahkan hak milik, seperti perjanjian jual beli; atau memindahkan penguasaan atas benda, seperti perjanjian sewa-menyewa.

d. Perjanjian konsensual dan real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang baru menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, tujuan perjanjian baru tercapai jika ada tindakan realisasi hak dan kewajiban tersebut. Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadinya sekaligus dengan realisasi tujuan , yaitu pemindahan hak.
Misalnya: A telah mengadakan perjanjian dengan B untuk mengadakan sebuah pertunjukan musik. B tanpa alasan yang jelas menyatakan tidak akan tampil dalam pertunjukan tersebut, sehingga dengan terpaksa A membatalkan pertunjukannya. Dalam hal ini yang termasuk dalam kerugian yang benar-benar telah dikeluarkan oleh A adalah biaya-biaya persiapan yang telah dikeluarkannya untuk pertunjukan ini. Kehilangan keuntungan yaitu hilangnya pendapatan dari penjualan tiket pertunjukan.
Pihak dalam sebuah perjanjian yang dianggap lalai dapat melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa ada hal-hal atau keadaan-keadaan di luar kekuasaannya yang memaksanya sehingga ia tidak dapat menepati apa yang menjadi kewajibannya dalam suatu perjanjian. Hal ini disebut Overmacht (keadaan memaksa). Untuk dapat dikatakan keadaan memaksa, keadaan yang timbul harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dapat dipikul risikonya oleh pihak yang dianggap lalai tersebut. Jika ia dapat membuktikan bahwa ia benar-benar dalam keadaan overmacht, maka hakim dapat menolak tuntutan yang diajukan kepadanya.
Keadaan memaksa (overmacht) berdasarkan sifatnya terdapat 2 macam, yaitu:

a. Bersifat mutlak (absolut)
Salah satu pihak tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian, misalnya karena objek perjanjian telah musnah karena bencana alam.




b. Bersifat tak mutlak (relative)
Suatu perjanjian masih dapat dilaksanakan, tetapi dengan adanya pengorbanan yang sangat besar dari salah satu pihak, misalnya harga barang yang diperjanjiakan tiba-tiba melambung tinggi atau pemerintah dengan tiba-tiba mengeluarkan suatu peraturan bahwa dilarang untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah tertentu dan jika melanggar akan dikenakan hukuman.

CONTOH SURAT KONTRAK

  SURAT PERJANJIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama :
Tempat tanggal lahir :
Alamat :
Pekerjaan :
Yang selanjutnya dalam surat perjanjian ini disebut sebagai pihak kesatu (1).
 2. Nama :
Tempat tanggal lahir :
Alamat :
Pekerjaan :
Yang  selanjutnya dalam surat perjanjian ini disebut sebagai pihak kedua (2).

Kedua belah pihak telah sepakat mengadakan perjanjian ….., yang diatur dalam pasal-pasal seperti  di bawah ini:
Pasal 1
(memuat hal-hal yang diperjanjikan, hak dan kewajiban para pihak)
Pasal 2
(memuat sanksi apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya)
Pasal 3
(memuat tentang cara penyelesaian masalah apabila terjadi perselisihan)

Bandung, ……… 20..

Saksi:
1.
2.
3.

Pihak kesatu                                                                          Pihak kedua

(                      )                                                                            (                      )



Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan .
Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata.

Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada
1) Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang
hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ). Antara KUHperdata dengan KUHdagang mempunyai hubungan yang erat.

Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1KUhdagang, yang isinya sebagai berikut:
Adapun mengenai hubungan tersebut adalah special derogate legi generali artinya hukum yang khusus: KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum: KUHperdata.
Prof. Subekti berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru berkembang dalam abad pertengahan.

KUHD lahir bersama KUH Perdata yaitu tahun 1847 di Negara Belanda, berdasarkan asas konkordansi juga diberlakukan di Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 kedua kitab tersebut berlaku di Indonesia. KUHD terdiri atas 2 buku, buku I berjudul perdagangan pada umumnya, buku II berjudul Hak dan Kewajiban yang timbul karena perhubungan kapal.
Kasus hukum dagang 1
Kasus hukum dagang berikut ini sebenarnya merupakan bagian dari hukum kepailitan. Namun kepailitan juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Berikut ini kasus hukum dagang 1.
Sebuah perusahaan mempunyai utang kepada tiga kreditur. Perusahaan tersebut berjanji akan membayarnya sesuai perjanjian yang telah disepakati kepada ketiga kreditur tersebut. Setelah dilakukan beberapa kali penagihan hingga jatuh tempo, utang itu belum juga dilunasi oleh perusahaan itu. Dalam kondisi seperti ini bisakah perusahaan dipailitkan?
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan ke pengadilan Niaga. Pengajuan itu harus memenuhi persyaratan sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Kepailitan. Ketentuan yang dimaksud dalam pasal tersebut secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar luna sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi.
Undang-Undang Kepailitan juga mengatur syarat pengajuan pailit terhadap debitur-debitur tertentu sebagai berikut:
1.      Dalam hal debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia
2.      Dalam hal debitu adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dalam diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
3.      Dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.