Rabu, 26 April 2017

Sektor Pertanian

Sektor Pertanian 

1.    Sektor Pertanian di Indonesia 

·         Pengertian Sektor Pertanian
Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung dalam pembangunan perekonomian nasional. Selain mampu menyerap tenaga kerja, sektor pertanian juga berperan penting dalam pembentukan PDB, penerimaan devisa, penyediaan pangan, pengentasan kemiskinan, perbaikan pendapatan masyarakat, bahkan pembentuk budaya bangsa dan penyeimbang ekosistem. 
                       Salah satu hal penting dalam sektor pertanian merupakan sektor pangan. Ketersediaan pangan menjadi sangat penting seiring dengan tingkat pertumbuhan masyarakat Indonesia saat ini. Pertumbuhan penduduk Indonesia sangat pesat sehingga menuntut ketersediaan dan ketahanan pangan yang besar untuk dipenuhi. Oleh karena itu, dalam upaya mengatasi persoalan pangan ini, investasi sektor pangan perlu untuk ditingkatkan. 
                   Realisasi investasi di sektor pangan mengalami tren yang positif. Hal ini akan terus didukung oleh pemerintah untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian melalui investasi pada rantai pasok dan modernisasi alat-alat pertanian. Diharapkan dengan menguatkan investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pertumbuhan Penanaman Modal Asing (PMA) akan meningkat. 


·         Subsektor Pertanian 

a.       Subsektor Tanaman Pangan
                        Subsektor tanaman pangan sering juga disebut sebagai subsektor pertanian rakyat. Hal ini karena biasanya rakyatlah yang mengusahakan sektor tanaman pangan, bukan perusahaan atau. Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa, serta menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Pertanian tanaman pangan sangat relevan dijadikan sebagai pilar ekonomi di daerah, mengingat sumber daya ekonomi yang dimiliki setiap daerah yang siap didayagunakan untuk membangun ekonomi daerah adalah sumber daya pertanian tanaman pangan. Pembagian sub sektor tanaman pangan, yaitu : 

Ø  Produksi
            Subsektor tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar nilai tambah sektor pertanian. Produksi tanaman pangan dapat ditingkatkan melalui perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan produktivitas (intensifikasi). Tersedianya lahan yang lebih luas dan teknologi produksi yang mampu menaikan produktivitas tidak dengan sendirinya akan mendorong petani untuk lebih giat menanam, kecuali jika terdapat rangsangan ekonomi yang dapat berupa harga sarana produksi yang terjangkau, kemudahan mendapatkan sarana produksi, harga jual, serta teknologi dan sarana penanganan pascapanen yang mampu menjaga keawetan produk. 

Ø  Konsumsi
            Perkembangan subsektor pertanian tidak hanya berhasil mencukupi penduduk akan pangan, tetapi juga memperbaiki pola konsumsi masyarakat. Tanaman padi-padian masih menjadi sumber utama bagi kaloro dan protein. Hal ini mudah dipahami mengingat beras masih merupakan bahan pangan utama. 

b.      Subsektor Perkebunan
                         Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan paling konsisten, baik ditinjau dari areal maupun produksi. Dengan perkembangan yang cukup konsisten, subsektor perkebunan mempunyai peran strategis, baik dalam pembangunan ekonomi secara nasional, maupun dalam menjawab isu-isu global. Sebagai salah satu subsektor penting dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan secara tradisional mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja menjadi nilai tambah sendiri, karena subsektor perkebunan menyediakan lapangan kerja di pedesaan dan daerah terpencil.Peran ini bermakna strategis karena penyediaan lapangan kerja oleh subsektor berlokasi di pedesaan sehingga mampu mengurangi arus urbanisasi.   
                        Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, subsektor perkebunan kembali menujukkan peran strategisnya.Pada saat itu, kebanyakan sektor ekonomi mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan dimana ekonomi Indonesia mengalami krisis dengan laju pertumbuhan –13% pada tahun 1998. Dalam situasi tersebut, subsektor perkebunan kembali menunjukkan kontribusinya dengan laju pertumbuhan antara 4%-6% per tahun. Situasi ini menunjukkan bahwa subsektor perkebunan dapat berperan sebagai salah satu subsektor andalan dalam hal pertumbuhan, baik pada saat ekonomi dalam keadaan booming maupun pada saat krisis.  

c.      Subsektor Perhutanan
      Dalam kedudukannya sebagai bagian dari sektor pertanian, hasil utama subsektor kehutanan adalah kayu. Hasil hutan lainnya disebut sebagai hasil ikutan. Nilai akhir dari hasil-hasil hutan yang belum diolah inilah yang termasuk ke dalam nilai produk sektor pertanian dalam perhitungan produk domestik bruto. Sedangkan nilai tambah hasil-hasil hutan yang sudah diolah terutama kayu olahan dalam perhitungan PDB dimasukan sebagai nilai produk sektor industri. Hutan yang diusahakan untuk diambil hasilnya adalah hutan yang dapat atau boleh dikonversi diantaranya berupa areal hutan tanaman industri. Pengelolaan hutan produksi dijalankan oleh perusahaan-perusahaan berdasarkan hak pengusahaan. 

d.      Subsektor Peternakan
           Sembilan puluh persen sektor peternakan diusahakan oleh rakyat, sekitar persentase itu pula produksi telur dan daging berasal dari usaha peternakan rakyat, hanya sebesar sepuluh persen yang diusahakan oleh perusahaan-perusahaan. Peternakan rakyat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
        -  Skala usaha kecil
        -  Teknologi sederhana
        -  Bersifat padat karya dan berbasis keluarga serumah
        -  Produktibitas dan mutu produk rendah  

e.      Subsektor Perikanan
            Subsektor perikanan berbeda dengan keempat subsektor lainnya. Tanaman pangan dan peternakan bersifat substitusi impor, sedangkan perkebunan dan kehutanan cenderung diprioritaskan untuk memenuhi keperluan dalam negeri. Namun subsektor perikanan disamping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga sebagai komoditas ekspor. Dilihat dari tempat budidayanya, subsektor ini dibedakan menjadi perikanan darat dan perikanan laut. Subsektor perikanan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini bersumber pada dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu pertambahan jumlah rumah tangga perikanan serta produktivitas jumlah rumah tangga perikanan yang berkembang. 


2.    Nilai Tukar Petani (NTP) 

a.      Pengertian Umum :
            NTP merupakan indikator proxy kesejahteraan petani. NTP merupakan perbandingan antara Indeks harga yg diterima petani (It) dengan Indeks harga yg dibayar petani (Ib)

b.      Arti Angka NTP :
ˉ               NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.
ˉ         NTP = 100, berarti petani mengalami impas. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.
ˉ      NTP< 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya. 

c.      Kegunaan dan Manfaat
ˉ         Dari Indeks Harga Yang Diterima Petani (It), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian.
ˉ         Dari Indeks Harga Yang Dibayar Petani (Ib), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di pedesaan, serta fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian. Perkembangan Ib juga dapat menggambarkan perkembangan inflasi di pedesaan.
ˉ         NTP mempunyai kegunaan untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi dan konsumsi rumah tangga.
ˉ         Angka NTP menunjukkan tingkat daya saing produk pertanian dibandingkan dengan produk lain. Atas dasar ini upaya produk spesialisasi dan peningkatan kualitas produk pertanian dapat dilakukan. 

d.      Cakupan Komoditas
ˉ         Sub Sektor Tanaman Pangan seperti: padi, palawija.
ˉ      Sub Sektor Holtikultura seperti: Sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias & tanaman obat-obatan.
ˉ   Sub Sektor Tanaman Perkebunan Rakyat (TPR) seperti: kelapa, kopi robusta, cengkeh, tembakau, dan kapuk odolan. Jumlah komoditas ini juga bervariasi antara daerah.
ˉ     Sub Sektor Peternakan seperti : ternak besar (sapi, kerbau), ternak kecil (kambing, domba, babi, dll), unggas (ayam, itik, dll), hasil-hasil ternak (susu sapi, telur, dll).
ˉ         Sub Sektor Perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya  


       3.    Investasi di Sektor Pertanian  
               
                 Investasi berarti suatu pengeluaran yang ditujukan untuk meningkatkan atau mempertahankan stok barang modal. Stok barang modal (capital stock) dan terdiri dari pabrik, jalan, jembatan, perkantoran, produk-produk tahan lama lainnya, yang digunakan dalam proses investasi. Investasi dapat diartikan juga sebagai pengeluaran tambahan yang ditambahkan pada komponen-komponen barang modal (capital accumulation). Sektor pertanian adalah salah satu sektor penting dalam pergerakan perekonomian di Indonesia, terutama pada perekonomian pedesaan. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah rendahnya perkembangan investasi dibidang pertanian, terutama spesifikasi pada investasi bidang pertanian dalam arti sempit. Salah satu sektor penunjang yang dapat menjadi indikator investasi adalah sektor perbankan.    
                Berdasarkan data perkembangan realisasi investasi PMD tahun 2006-2009,sektor tanaman pangan mengalami peningkatan pada tahun 2007, menurun pada tahun 2008, dan meningkat kembali tahun 2009. Sektor petrnakan juga mengalami fluktuasi, sedangkan sektor perikanan mengalami peningkatan. Sma seperti PMA, PMD pada sektor pertanian memiliki proporsi yang masih lebih kecil dibandingkan pada sektor lain. 
     

      Identifikasi Penyebab Investasi Pertanian Terhambat
Berdasarkan data-data diatas, terlihat bahwa perkembangan investasi untuk sektor pertanian memiliki kecenderungan yang terus menurun. Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi penyebab ketidaktertarikan investor untuk menanamkan modalnya ke sektor petanian, diantaranya:
a.       Pertama, sektor pertanian memiliki risiko dan ketidakpastian yang sangat tinggi dibanding sektor lain. Terlebih lagi dengan adanya climate change yang menyebabkan kemungkinan terjadinya fluktuasi produksi menyebabkan ketidakpastian dan risiko yang dihadapi semakin tinggi.
b.  Kedua, pada kasus pertanian di Indonesia, minimnya sarana pendukung yang tersedia menjadi slah satu faktor yang membuat investasi pada pertanian semakin tidak menarik. Seperti yang telah banyak diketahui, saat ini sarana pertanian seperti irigasi misalnya yang ada di daerah adalah peninggalan masa orde baru dan sudah semakin tidak terawat. Selain itu, karena umumnya sentra produksi pertanian berada di daerah, dan infrastruktur sepeti jalan yang ada pada beberpaa jalur misalkan pada jalur pantura kurang baik sehingga besarnya kemungkinan terjadi kerusakan barang semakin tinggi. 
                  c.       Ketiga, masih sulitnya birokrasi yang ada apabila hemdak mendirikan usaha pertanian                          yang memiliki skala ekonomi yang cukup besar sehingga menjadi kurang menarik.
d.      Keempat, masih tidak stabilnya iklim investasi di Indonesia. Hal ini berlaku secara            keseluruhan, baik sektor pertanian maupun nonpertanian.
e.     Kelima, masih tidak stabilnya iklim politik dan pada beberapa komoditi pertanian yang    menjadi komoditi politik.  
f.  Keenam, masih maraknya pungutan-pungutan liar di Indonesia sehingga semakin  meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan. Masih terdapatnya tumpang tindih kebijakan  antar departemen atau kementrian yang ada dan kurangnya koordinasi antar instansi  pemeerintahan sehingga menimbulkan kebingungan pada investor
g.   Ketujuh, adanya otanomi daerah yang terkadang kebijakannya tumpang tindih dengan  kebijakan pemerintah pusat.
h.       Kedelapan, anggapan bahwa investasi sektor pertanian tidak menarik dibandingkan  dengan sektor lain. 

4. Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur 

Salah satu penyebab krisis ekonomi adalah kesalahan industrialisasi yg tidak berbasis pertanian. Hal ini terlihat bahwa laju pertumbuhan sector pertanian bertambah walaupun kecil, sedangkan industri manufaktur berkurang. Jepang, Taiwan & Eropa dlm memajukan industri manufaktur diawali dg revolusi sector pertanian. 

Alasan sector pertanian harus kuat dlm proses industrialisasi: 

  • ·          Sektor pertanian kuat maka pangan terjamin sehingga tidak ada lapar dan  kondisi  sospol stabil
  • ·          Sudut permintaan dimana sektor pertanian kuat sehingga pendapatan riil perkapita naik dan hasilnya adalah permintaan oleh petani terhadap produk industri manufaktur naik berarti industri manufaktur berkembang dan output industri menjadi input sektor pertanian
  • ·       Sudut penawaran dimana permintaan produk pertanian sebagai bahan baku oleh industri manufaktur.
  • ·     Kelebihan output siktor pertanian digunakan sebagai sumber investasi sektor industri manufaktur seperti industri kecil dipedesaan . 
  Kenyataan di Indonesia keterkaitan produksi sektor pertanian dam industri manufaktur sangat lemah dan kedua sektor tersebut sangat bergantung kepada barang impor.
  


            5.    Contoh Kasus 

        Environmental damage, social conflicts overshadow Indonesia’s palm oil future 

                    Palm oil is an important commodity for Indonesia’s economy, contributing US$17.8 billion, or about 12 percent, to its export revenue.While this year the production of crude palm oil is likely to increase 16 percent, to up to33 million tons, with expected conducive weather conditions, environmental issues and social conflicts continue to overshadow the sector’s future in the world’s biggest palm-oil producing country. 
                    Just earlier this month, the European Parliament’s Committee on Environment, Public Health and Food Safety (ENVI) approved a set of recommendations to the European Commission, which will phase out the use of palm oil as a component of biodiesel by 2020 and require exporters to prove responsible cultivation practices on their plantations. 
              A report prepared by the European Commission says that as the demand for palm oil is estimated to double by 2050, it poses severe environmental damages to oil-producing countries such Indonesia, Malaysia and others in Asia, Africa and Latin America. Palm oil industry has been accused of causing deforestation, environmental degradation, and human rights violations ranging from land disputes to child labor. The report is due for a vote in the European Parliament on April 3-6.  
                 In response to the report, Indonesian experts, executives of an organization seeking to promote sustainable development, and a former government official, have started to defend the industry that employs millions. 

     Black campaign 

         “This is a real black campaign, involving conflicts of interests, and deriving from trade competitors,” said Bayu Krisnamurthi, former Deputy Minister of Trade and Agriculture in President Susilo Bambang Yudhoyono’s cabinet. Bayu is now the chairman of the Indonesian Society of Agricultural Economics, which provides expertise to the agricultural sector. 
            
               In November 2013, the EU set duties of 8.8 percent to 20.5 percent for Indonesian palm oil producers to apply for five years. It argued that by imposing duty on the raw products, an advantage will be given to domestic producers. The Indonesian government’s is going to file a complaint to the World Trade Organisation against the duties. 
                 
                  Petrus Gunarso, a member of the Indonesian Forestry Scholars Association (Persaki), rebutted the claim that Indonesia’s palm oil industry is the main contributor to the country’s deforestation, claiming that most of the palm oil plantations, which currently cover about 11 million hectares, were previously rubber plantations. Petrus said that many farmers had converted their plantations as the price of rubber has been declining and palm oil cultivation is more profitable.   
     
               “That’s why the sizes of our rubber plantations have shrunk,” he said, adding that plantations are also established on degraded forests, which the government classifies as non-forest estates. 

  Not deforestation’
“By Indonesian law, that’s not deforestation,” Petrus said. 
  
             While palm oil producers may need to work more on convincing Europeans to buy their products, at home they have to deal with social conflicts, especially regarding land disputes. The Indonesia Business Council for Sustainable Development, IBCSD, has commissioned a team to study the costs of these conflicts. 

                 Using 2016 data from five plantations in Kalimantan and Sumatra, the team concluded, in a report titled “The Cost of Conflict in Oil Palm in Indonesia,” that the tangible costs of social conflicts ranged from $70,000 to $2.5 million. The biggest direct costs were income losses due to disrupted operations. The intangible costs, according to the report, ranged from $600,000 to $9 million, and were due to reputational losses, casualties and property damage. The reputational losses, according to the study, affect the companies’ ability to obtain loans, decrease the demand for their products and their stock market value. 

                  “Conflicts are going to exist in all industries, it’s our homework now to find the most feasible solutions for the companies and communities,” said Aisyah Sileuw, president director of consulting firm Daemeter, which published the report. As the infamous commodity makes the industry the most favorite one to bash on, Aisyah believes it is “impossible to get rid of it,” not only because of the huge export revenue it generates, but also since 40 percent of the country’s smallholders depend on palm oil.  

                                                                  
   Analisis Kasus  

      1.      Palm oil is an important commodity for Indonesia’s economy, contributing US$17.8 billion, or about 12 percent, to its export revenue, but a report prepared by the European Commission says palm oil industry has been accused of causing deforestation, environmental degradation, and human rights violations ranging from land disputes to child labor.
      2.      Indonesia’s palm oil industry is the main contributor to the country’s deforestation currently cover about 11 million hectares, were previously rubber plantations and many farmers had converted their plantations as the price of rubber has been declining and palm oil cultivation is more profitable.
      3.      A report titled “The Cost of Conflict in Oil Palm in Indonesia,” to mention that the tangible costs of social conflicts ranged from $70,000 to $2.5 million. The biggest direct costs were income losses due to disrupted operations and the intangible costs, according to the report, ranged from $600,000 to $9 million, and were due to reputational losses, casualties and property damage. The reputational losses, according to the study, affect the companies’ ability to obtain loans, decrease the demand for their products and their stock market value. 
     4.      The result from  “The Cost of Conflict in Oil Palm in Indonesia,” is conflicts are going to exist in all industries, and it’s our homework now to find the most feasible solutions for the companies and communities. 



   


Referensi