Sektor
Pertanian
1.
Sektor Pertanian
di Indonesia
·
Pengertian Sektor Pertanian
Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung
dalam pembangunan perekonomian nasional. Selain mampu menyerap tenaga kerja,
sektor pertanian juga berperan penting dalam pembentukan PDB, penerimaan
devisa, penyediaan pangan, pengentasan kemiskinan, perbaikan pendapatan
masyarakat, bahkan pembentuk budaya bangsa dan penyeimbang ekosistem.
Salah satu hal penting dalam sektor pertanian
merupakan sektor pangan. Ketersediaan pangan menjadi sangat penting seiring
dengan tingkat pertumbuhan masyarakat Indonesia saat ini. Pertumbuhan penduduk
Indonesia sangat pesat sehingga menuntut ketersediaan dan ketahanan pangan yang
besar untuk dipenuhi. Oleh karena itu, dalam upaya mengatasi persoalan pangan
ini, investasi sektor pangan perlu untuk ditingkatkan.
Realisasi investasi di sektor pangan mengalami tren yang positif.
Hal ini akan terus didukung oleh pemerintah untuk meningkatkan produktivitas
hasil pertanian melalui investasi pada rantai pasok dan modernisasi alat-alat
pertanian. Diharapkan dengan menguatkan investasi Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN), pertumbuhan Penanaman Modal Asing (PMA) akan meningkat.
·
Subsektor Pertanian
a. Subsektor Tanaman Pangan
Subsektor tanaman pangan sering juga
disebut sebagai subsektor pertanian rakyat. Hal ini karena biasanya rakyatlah
yang mengusahakan sektor tanaman pangan, bukan perusahaan atau. Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian
memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan
ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pengentasan kemiskinan, penyerapan
tenaga kerja dan penerimaan devisa, serta menjadi penarik bagi pertumbuhan
industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir yang memberikan
kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Pertanian tanaman
pangan sangat relevan dijadikan sebagai pilar ekonomi di daerah, mengingat
sumber daya ekonomi yang dimiliki setiap daerah yang siap didayagunakan untuk
membangun ekonomi daerah adalah sumber daya pertanian tanaman pangan. Pembagian sub
sektor tanaman pangan, yaitu :
Ø
Produksi
Subsektor tanaman pangan merupakan
penyumbang terbesar nilai tambah sektor pertanian. Produksi tanaman pangan
dapat ditingkatkan melalui perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan
produktivitas (intensifikasi). Tersedianya lahan yang lebih luas dan teknologi
produksi yang mampu menaikan produktivitas tidak dengan sendirinya akan
mendorong petani untuk lebih giat menanam, kecuali jika terdapat rangsangan
ekonomi yang dapat berupa harga sarana produksi yang terjangkau, kemudahan
mendapatkan sarana produksi, harga jual, serta teknologi dan sarana penanganan
pascapanen yang mampu menjaga keawetan produk.
Ø
Konsumsi
Perkembangan subsektor pertanian tidak
hanya berhasil mencukupi penduduk akan pangan, tetapi juga memperbaiki pola
konsumsi masyarakat. Tanaman padi-padian masih menjadi sumber utama
bagi kaloro dan protein. Hal ini mudah dipahami mengingat beras masih merupakan
bahan pangan utama.
b.
Subsektor Perkebunan
Subsektor
perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan paling
konsisten, baik ditinjau dari areal maupun produksi. Dengan perkembangan yang cukup konsisten,
subsektor perkebunan mempunyai peran strategis, baik dalam pembangunan ekonomi
secara nasional, maupun dalam menjawab isu-isu global. Sebagai salah satu
subsektor penting dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan secara
tradisional mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian
Indonesia.Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan
masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup
signifikan. Kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja menjadi nilai tambah sendiri,
karena subsektor perkebunan menyediakan lapangan kerja di pedesaan dan daerah
terpencil.Peran ini bermakna strategis karena penyediaan lapangan kerja oleh
subsektor berlokasi di pedesaan sehingga mampu mengurangi arus urbanisasi.
Subsektor perkebunan merupakan salah satu
subsektor yang mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah
yang tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Ketika Indonesia
mengalami krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, subsektor perkebunan kembali
menujukkan peran strategisnya.Pada saat itu, kebanyakan sektor ekonomi
mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan dimana ekonomi Indonesia mengalami
krisis dengan laju pertumbuhan –13% pada tahun 1998. Dalam situasi tersebut,
subsektor perkebunan kembali menunjukkan kontribusinya dengan laju pertumbuhan
antara 4%-6% per tahun. Situasi ini menunjukkan bahwa subsektor perkebunan
dapat berperan sebagai salah satu subsektor andalan dalam hal pertumbuhan, baik
pada saat ekonomi dalam keadaan booming maupun pada saat krisis.
c.
Subsektor Perhutanan
Dalam kedudukannya sebagai bagian dari
sektor pertanian, hasil utama subsektor kehutanan adalah kayu. Hasil hutan lainnya
disebut sebagai hasil ikutan. Nilai akhir dari hasil-hasil hutan yang belum
diolah inilah yang termasuk ke dalam nilai produk sektor pertanian dalam
perhitungan produk domestik bruto. Sedangkan nilai tambah hasil-hasil hutan yang
sudah diolah terutama kayu olahan dalam perhitungan PDB dimasukan sebagai nilai
produk sektor industri. Hutan yang diusahakan untuk diambil hasilnya
adalah hutan yang dapat atau boleh dikonversi diantaranya berupa areal hutan
tanaman industri. Pengelolaan hutan produksi dijalankan oleh perusahaan-perusahaan berdasarkan
hak pengusahaan.
d. Subsektor Peternakan
Sembilan puluh
persen sektor peternakan diusahakan oleh rakyat, sekitar persentase itu pula
produksi telur dan daging berasal dari usaha peternakan rakyat, hanya sebesar
sepuluh persen yang diusahakan oleh perusahaan-perusahaan. Peternakan rakyat
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Skala usaha kecil
- Teknologi sederhana
- Bersifat padat karya dan berbasis keluarga
serumah
- Produktibitas dan mutu produk rendah
e.
Subsektor Perikanan
Subsektor
perikanan berbeda dengan keempat subsektor lainnya. Tanaman pangan dan
peternakan bersifat substitusi impor, sedangkan perkebunan dan kehutanan
cenderung diprioritaskan untuk memenuhi keperluan dalam negeri. Namun subsektor
perikanan disamping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga sebagai
komoditas ekspor. Dilihat dari tempat budidayanya, subsektor ini dibedakan
menjadi perikanan darat dan perikanan laut. Subsektor perikanan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini bersumber pada dua faktor yang
mempengaruhinya, yaitu pertambahan jumlah rumah tangga perikanan serta
produktivitas jumlah rumah tangga perikanan yang berkembang.
2.
Nilai Tukar Petani (NTP)
a. Pengertian Umum :
NTP merupakan indikator proxy kesejahteraan petani. NTP merupakan
perbandingan antara Indeks harga yg diterima petani (It) dengan Indeks harga yg
dibayar petani (Ib).
b. Arti Angka NTP :
ˉ NTP > 100, berarti petani
mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga
konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.
ˉ
NTP = 100, berarti petani
mengalami impas. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase
kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan
pengeluarannya.
ˉ NTP< 100, berarti petani
mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan
dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun, lebih kecil
dari pengeluarannya.
c. Kegunaan dan Manfaat
ˉ
Dari Indeks Harga Yang Diterima
Petani (It), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan
petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam penghitungan
pendapatan sektor pertanian.
ˉ
Dari Indeks Harga Yang Dibayar
Petani (Ib), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh
petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di pedesaan, serta
fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian.
Perkembangan Ib juga dapat menggambarkan perkembangan inflasi di pedesaan.
ˉ
NTP mempunyai kegunaan untuk
mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang
dibutuhkan petani dalam produksi dan konsumsi rumah tangga.
ˉ
Angka NTP menunjukkan tingkat
daya saing produk pertanian dibandingkan dengan produk lain. Atas dasar ini
upaya produk spesialisasi dan peningkatan kualitas produk pertanian dapat
dilakukan.
d.
Cakupan Komoditas
ˉ
Sub Sektor Tanaman Pangan
seperti: padi, palawija.
ˉ Sub Sektor Holtikultura
seperti: Sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias & tanaman obat-obatan.
ˉ Sub Sektor Tanaman Perkebunan
Rakyat (TPR) seperti: kelapa, kopi robusta, cengkeh, tembakau, dan kapuk
odolan. Jumlah komoditas ini juga bervariasi antara daerah.
ˉ Sub Sektor Peternakan seperti :
ternak besar (sapi, kerbau), ternak kecil (kambing, domba, babi, dll), unggas
(ayam, itik, dll), hasil-hasil ternak (susu sapi, telur, dll).
ˉ
Sub Sektor Perikanan, baik
perikanan tangkap maupun perikanan budidaya
3.
Investasi di Sektor Pertanian
Investasi
berarti suatu pengeluaran yang ditujukan untuk meningkatkan atau mempertahankan
stok barang modal. Stok barang modal (capital stock) dan terdiri dari pabrik,
jalan, jembatan, perkantoran, produk-produk tahan lama lainnya, yang digunakan
dalam proses investasi. Investasi dapat diartikan juga sebagai pengeluaran
tambahan yang ditambahkan pada komponen-komponen barang modal (capital
accumulation). Sektor pertanian adalah salah satu sektor penting dalam
pergerakan perekonomian di Indonesia, terutama pada perekonomian pedesaan.
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah rendahnya perkembangan investasi
dibidang pertanian, terutama spesifikasi pada investasi bidang pertanian dalam
arti sempit. Salah satu sektor penunjang yang dapat menjadi indikator investasi
adalah sektor perbankan.
Berdasarkan data perkembangan realisasi
investasi PMD tahun 2006-2009,sektor tanaman pangan mengalami peningkatan pada
tahun 2007, menurun pada tahun 2008, dan meningkat kembali tahun 2009. Sektor
petrnakan juga mengalami fluktuasi, sedangkan sektor perikanan mengalami
peningkatan. Sma seperti PMA, PMD pada sektor pertanian memiliki proporsi yang
masih lebih kecil dibandingkan pada sektor lain.
Identifikasi Penyebab Investasi
Pertanian Terhambat
Berdasarkan data-data diatas,
terlihat bahwa perkembangan investasi untuk sektor pertanian memiliki
kecenderungan yang terus menurun. Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi
penyebab ketidaktertarikan investor untuk menanamkan modalnya ke sektor
petanian, diantaranya:
a. Pertama, sektor pertanian memiliki
risiko dan ketidakpastian yang sangat tinggi dibanding sektor lain. Terlebih
lagi dengan adanya climate change yang menyebabkan kemungkinan terjadinya
fluktuasi produksi menyebabkan ketidakpastian dan risiko yang dihadapi semakin
tinggi.
b. Kedua, pada kasus pertanian di
Indonesia, minimnya sarana pendukung yang tersedia menjadi slah satu faktor
yang membuat investasi pada pertanian semakin tidak menarik. Seperti yang telah
banyak diketahui, saat ini sarana pertanian seperti irigasi misalnya yang ada
di daerah adalah peninggalan masa orde baru dan sudah semakin tidak terawat.
Selain itu, karena umumnya sentra produksi pertanian berada di daerah, dan
infrastruktur sepeti jalan yang ada pada beberpaa jalur misalkan pada jalur
pantura kurang baik sehingga besarnya kemungkinan terjadi kerusakan barang
semakin tinggi.
c. Ketiga, masih sulitnya birokrasi
yang ada apabila hemdak mendirikan usaha pertanian yang memiliki skala ekonomi
yang cukup besar sehingga menjadi kurang menarik.
d. Keempat, masih tidak stabilnya iklim
investasi di Indonesia. Hal ini berlaku secara keseluruhan, baik sektor
pertanian maupun nonpertanian.
e. Kelima, masih tidak stabilnya iklim
politik dan pada beberapa komoditi pertanian yang menjadi komoditi politik.
f. Keenam, masih maraknya
pungutan-pungutan liar di Indonesia sehingga semakin meningkatkan biaya yang
harus dikeluarkan. Masih terdapatnya tumpang tindih kebijakan antar departemen
atau kementrian yang ada dan kurangnya koordinasi antar instansi pemeerintahan
sehingga menimbulkan kebingungan pada investor
g. Ketujuh, adanya otanomi daerah yang
terkadang kebijakannya tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah pusat.
h. Kedelapan, anggapan bahwa investasi
sektor pertanian tidak menarik dibandingkan dengan sektor lain.
4. Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur
Salah satu penyebab krisis ekonomi
adalah kesalahan industrialisasi yg tidak berbasis pertanian. Hal ini terlihat
bahwa laju pertumbuhan sector pertanian bertambah walaupun kecil, sedangkan
industri manufaktur berkurang. Jepang, Taiwan & Eropa dlm memajukan
industri manufaktur diawali dg revolusi sector pertanian.
Alasan
sector pertanian harus kuat dlm proses industrialisasi:
- · Sektor pertanian kuat maka pangan terjamin sehingga tidak ada lapar dan kondisi sospol stabil
- · Sudut permintaan dimana sektor pertanian kuat sehingga pendapatan riil perkapita naik dan hasilnya adalah permintaan oleh petani terhadap produk industri manufaktur naik berarti industri manufaktur berkembang dan output industri menjadi input sektor pertanian
- · Sudut penawaran dimana permintaan produk pertanian sebagai bahan baku oleh industri manufaktur.
- · Kelebihan output siktor pertanian digunakan sebagai sumber investasi sektor industri manufaktur seperti industri kecil dipedesaan .
5.
Contoh Kasus
Environmental
damage, social conflicts overshadow Indonesia’s palm oil future
Palm oil is an important commodity for Indonesia’s economy,
contributing US$17.8 billion, or about 12 percent, to its export revenue.While
this year the production of crude palm oil is likely to
increase 16 percent, to up to33 million tons, with expected conducive weather conditions, environmental issues and social conflicts continue to overshadow the sector’s future in the world’s biggest palm-oil producing country.
Just earlier this month, the European Parliament’s Committee on
Environment, Public Health and Food Safety (ENVI) approved a set of
recommendations to the European Commission, which will phase out the use of
palm oil as a component of biodiesel by 2020 and require exporters to prove
responsible cultivation practices on their plantations.
A report prepared by the European Commission says that as the demand
for palm oil is estimated to double by 2050, it poses severe environmental
damages to oil-producing countries such Indonesia, Malaysia and others in Asia,
Africa and Latin America. Palm oil industry has been accused of causing
deforestation, environmental degradation, and human rights violations ranging
from land disputes to child labor. The report is due for a vote in the European
Parliament on April 3-6.
In response to the report, Indonesian experts, executives of an
organization seeking to promote sustainable development, and a former
government official, have started to defend the industry that employs millions.
Black campaign
“This is a real black
campaign, involving conflicts of interests, and deriving from trade
competitors,” said Bayu Krisnamurthi, former Deputy Minister of Trade and
Agriculture in President Susilo Bambang Yudhoyono’s cabinet. Bayu is now the
chairman of the Indonesian Society of Agricultural Economics, which provides
expertise to the agricultural sector.
In November 2013, the EU set
duties of 8.8 percent to 20.5 percent for Indonesian palm oil producers to
apply for five years. It argued that by imposing duty on the raw products, an
advantage will be given to domestic producers. The Indonesian government’s is
going to file a complaint to the World Trade Organisation against the duties.
Petrus Gunarso, a member of
the Indonesian Forestry Scholars Association (Persaki), rebutted the claim that
Indonesia’s palm oil industry is the main contributor to the country’s
deforestation, claiming that most of the palm oil plantations, which currently
cover about 11 million hectares, were previously rubber plantations. Petrus
said that many farmers had converted their plantations as the price of rubber
has been declining and palm oil cultivation is more profitable.
“That’s why the sizes of our
rubber plantations have shrunk,” he said, adding that plantations are also
established on degraded forests, which the government classifies as non-forest
estates.
Not deforestation’
“By Indonesian law, that’s not deforestation,” Petrus said.
While palm oil producers may need to work more on convincing
Europeans to buy their products, at home they have to deal with social
conflicts, especially regarding land disputes. The Indonesia Business Council
for Sustainable Development, IBCSD, has commissioned a team to study the costs
of these conflicts.
Using 2016 data from five plantations in Kalimantan and Sumatra, the
team concluded, in a report titled “The Cost of Conflict in Oil Palm in
Indonesia,” that the tangible costs of social conflicts ranged from $70,000 to
$2.5 million. The biggest direct costs were income losses due to disrupted
operations. The intangible costs, according to the report, ranged from $600,000
to $9 million, and were due to reputational losses, casualties and property
damage. The reputational losses, according to the study, affect the companies’
ability to obtain loans, decrease the demand for their products and their stock
market value.
“Conflicts are going to exist in all industries, it’s our homework
now to find the most feasible solutions for the companies and communities,”
said Aisyah Sileuw, president director of consulting firm Daemeter, which
published the report. As the infamous commodity makes the industry the most
favorite one to bash on, Aisyah believes it is “impossible to get rid of it,”
not only because of the huge export revenue it generates, but also since 40
percent of the country’s smallholders depend on palm oil.
Analisis
Kasus
1.
Palm
oil is an important commodity for Indonesia’s economy, contributing US$17.8
billion, or about 12 percent, to its export revenue, but a report prepared by
the European Commission says palm oil industry has been accused of causing
deforestation, environmental degradation, and human rights violations ranging
from land disputes to child labor.
2.
Indonesia’s
palm oil industry is the main contributor to the country’s deforestation currently
cover about 11 million hectares, were previously rubber plantations and many
farmers had converted their plantations as the price of rubber has been
declining and palm oil cultivation is more profitable.
3.
A
report titled “The Cost of Conflict in Oil Palm in Indonesia,” to mention that
the tangible costs of social conflicts ranged from $70,000 to $2.5 million. The
biggest direct costs were income losses due to disrupted operations and the
intangible costs, according to the report, ranged from $600,000 to $9 million,
and were due to reputational losses, casualties and property damage. The
reputational losses, according to the study, affect the companies’ ability to
obtain loans, decrease the demand for their products and their stock market
value.
4.
The
result from “The Cost of Conflict in Oil
Palm in Indonesia,” is conflicts are going to exist
in all industries, and it’s our homework now to find the most feasible
solutions for the companies and communities.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar