Jumat, 13 April 2018

Contoh kasus dan analisis Hukum Perdata dan Hukum Perikatan

Aspek Hukum dalam Ekonomi 
Hukum Perdata dan Hukum Perikatan 

Disusun Oleh: 
Nama: Aulia Fauzy Pradana
Npm: 21216196 
Kelas: 2EB18


A.  Contoh Kasus Hukum Perdata Batavia vs Garuda



Konflik yang terjadi antara PT. Metro Batavia dengan PT. Garuda Maintenance Facility Aero Asia merupakan salah satu contoh kasus wanprestasi. Kasus ini bermula ketika GMF memberikan biaya jasa kepada Batavia Air, seperti menambah angin ban dan penggantian oli pesawat. Sampai pada akhirnya, Batavia Air tidak juga melunasi biaya perawatan pesawat yang telah jatuh tempo sejak awal tahun 2008. GMF menuding Batavia telah melakukan wanprestasi sampai jatuh tempo. Total nilai utang yang seharusnya dilunasi oleh Batavia Air adalah sebesar 1,192 juta dollar AS.


Untuk menyelesaikan penagihan utang tersebut, GMF telah mengajukan gugatan perdata terhadap Batavia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 September 2008. Pada tanggal 4 Maret 2009 lalu, untuk pertama kalinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Agar gugatan tidak sia-sia, permohonan sita jaminan diajukan agar selama perkara berlangsung Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya. Ketujuh pesawat Batavia berstatus sita jaminan sampai kewajibannya dilunasi. Batavia juga dihukum membayar sisa tagihan kepada GMF atas biaya penggantian dan perbaikan mesin bearing pesawat Batavia. Maskapai penerbangan itu terbukti melakukan wanprestasi terhadap pembayaran utang sebesar AS$ 256.266 plus bunga 6 persen per tahun terhitung sejak 17 November 2007. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menolak seluruh gugatan yang diajukan PT Metro Batavia terhadap GMF AeroAsia dalam perkara kerusakan dua engine berkode ESN 857854 dan ESN 724662. Keputusan ini dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 11 Maret 2009.


Meski ketujuh pesawat Batavia disita, pesawat Batavia masih bisa beroperasi selama masa sitaan di wilayah Indonesia. Karena apabila pesawat berada di luar negeri, pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi. Hal itu untuk menjaga kepentingan transportasi umum tetap terlayani. Izin operasional ini masuk dalam penetapan sita jaminan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009 yang diumumkan kuasa hukum Garuda, Adnan Buyung Nasution. Dalam hal ini berdasarkan Pasal 227 HIR dan Pasal 1131 KUHPerdata, semua jenis atau bentuk harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala utang debitur. Sita jaminan hanya dilarang terhadap hewan dan barang yang bisa digunakan untuk menjalankan pencaharian debitur. Pesawat terbang bisa dijadikan objek sita jaminan. Pesawat tidak dikategorikan sebagai barang yang diatur dalam Pasal 196 HIR, melainkan sebagai alat perdagangan.


Batavia melaporkan penyitaan kepada Departemen Perhubungan supaya dicatat, atas pesawat yang disita ke Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Ditjen Pehubungan Udara Departemen Perhubungan. Pencatatan itu terkait dengan identifikasi dan status pesawat agar sita jaminan tidak sia-sia, termasuk setiap perubahan terhadap pesawat selama dalam masa sitaan. Selain itu, Batavia harus merawat pesawat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Majelis hakim membebankan biaya perawatan itu ke Batavia.


ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus wanprestasi antara PT. Metro Batavia dan PT. Garuda Maintanence Facility yang sudah dibahas sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan penerapan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR?

Di dalam Pasal 227 HIR disebutkan bahwa “Jika ada sangka beralasan bahwa Tergugat akan menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan maksud akan menjauhkan barang tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan Penggugat Pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas barang tersebut untuk menjaga/menjamin hak Penggugat”. Isi pasal tersebut, sesuai dengan permohonan sita jaminan yang diajukan PT. GMF agar selama perkara berlangsung, Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya.
Pasal 1311 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perserorangan. Pihak GMF sejak semula telah meminta kepada Batavia Air agar hartanya,  yaitu tujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda, secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang. Sehingga apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo PT. Batavia Air  tidak dapat menepati janjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta tergugat tersebut dapat dieksekusi oleh penggugat melalui prosedur tertentu.
Pasal 196 HIR menyatakan bahwa jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
Berdasarkan kasus wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Batavia terhadap PT. GMF dan analisis kasus yang sesuai dengan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR, maka kami menyatakan bahwa kasus wanprestasi GMF terhadap Batavia dibenarkan untuk melakukan sita jaminan sampai Batavia dapat melunasi utang 

B. CONTOH KASUS PERIKATAN (PT. SENTRA BISNIS) 

Awalnya, telah dibuka dan disewakan untuk pertokoan di PT Sentra Bisnis. pihak pengelola memasarkannya adalah secara persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat Depok. Sumardi adalah salah satu diantara pedagang yang menerima ajakan PT  Sentra Bisnis, yang tinggal di Bekasi. Tarmin memanfaatkan ruangan seluas 758,98 M2 Lantai I itu untuk menjual barang elektronik dengan nama Master Electronik.  6 bulan berlalu Sumardi menempati ruko itu, pengelola mengajak Sumardi membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris.  Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruko, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan.  Sumardi bersedia membayar semua kewajibannya pada PT Sentra Bisnis, tiap bulan terhitung sejak Mei 2008 s/d 30 April 2008 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 19 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran.  Kesepakatan antara pengelola PT Sentra Bisnis dengan Sumardi dilakukan dalam Akte Notaris Ahmad Sukur No. 26 Tanggal 12/10/2008.


Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Sumardi ternyata tidak pernah dipenuhi, Sumardi menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola tidak pernah dipedulikannya.  Bahkan menurutnya, Akte No. 26 tersebut, tidak berlaku karena pihak PT. Sentra Bisnis telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran.  Hanya sewa ruangan, menurut Sumardi akan dibicarakan kembali di akhir tahun 2008.  Namun pengelola berpendapat sebaliknya.  Akte No. 26 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut. Hingga 10 Maret 2009, Sumardi seharusnya membayar Rp. 18.756.879,33 kepada PT Sentra Bisnis.  Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Sumardi tetap berkeras untuk tidak membayarnya.  Pengelola, yang mengajak Sumardi meramaikan pertokoan itu. Pihak pengelola menutup Master Electronik secara paksa.  Selain itu, pengelola menggugat Sumardi di Pengadilan Negeri Depok.

Analisis kasus

      
Setelah pihak PT Sentra Bisnis mengajak Sumardi untuk  berjualan di komplek pertokoan di pusat kota Depok, maka secara tidak langsung PT Sentra Bisnis telah melaksanakan kerjasama kontrak dengan Sumardi yang dibuktikan dengan membuat perjanjian sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan pasal 1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak PT Sentra Bisnis  dan Sumardi mempunyai keterikatan untuk memberikan atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.
 Perjanjian tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah pihak, karena perjanjian yang telah dilakukan oleh PT Sentra Bisnis dan Sumardi tersebut dianggap sudah memenuhi syarat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1320 BW.Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.      Suatu hal tertentu;
4.      Suatu sebab yang halal.
Perjanjian diatas bisa dikatakan sudah adanya kesepakatan, karena pihak PT Sentra Bisnis dan Sumardi dengan rela tanpa ada paksaan menandatangani isi perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT Sumardi yang dibuktikan dihadapan Notaris. Namun pada kenyataannya, Sumardi tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk membayar semua kewajibannya kepada PT Sentra Bisnis, dia tidak pernah peduli walaupun tagihan demi tagihan yang datang kepanya, tapi dia tetap berisi keras untuk tidak membayarnya.  Maka dari sini Sumardi bisa dinyatakan sebagai pihak yang melanggar perjanjian.
Dengan alasan inilah pihak PT Sentra Bisnis setempat melakukan penutupan Master Electronik secara paksa dan menggugat Sumardi di Pengadilan Negeri Depok. Dan jika di kaitkan dengan Undang-undang yang ada dalam BW, tindakan Pihak PT Sentra Bisnis bisa dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan bahwa :Dalam pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu. Dari pasal diatas, maka pihak PT Sentra Bisnis bisa menuntut kepada Sumardi yang tidak memenuhi suatu perikatan dan dia dapat dikenai denda untuk membayar semua tagihan bulanan kepada PT Sentra Bisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar