Aspek Hukum dalam Ekonomi
Hukum Perdata dan Hukum Perikatan
Disusun Oleh:
Nama: Aulia Fauzy Pradana
Npm: 21216196
Kelas: 2EB18
A. Contoh Kasus Hukum Perdata Batavia vs Garuda
Konflik yang terjadi antara PT. Metro
Batavia dengan PT. Garuda Maintenance Facility Aero Asia merupakan salah satu
contoh kasus wanprestasi. Kasus ini bermula ketika GMF memberikan biaya jasa
kepada Batavia Air, seperti menambah angin ban dan penggantian oli pesawat.
Sampai pada akhirnya, Batavia Air tidak juga melunasi biaya perawatan pesawat
yang telah jatuh tempo sejak awal tahun 2008. GMF menuding Batavia telah
melakukan wanprestasi sampai jatuh tempo. Total nilai utang yang seharusnya
dilunasi oleh Batavia Air adalah sebesar 1,192 juta dollar AS.
Untuk menyelesaikan penagihan utang tersebut, GMF telah
mengajukan gugatan perdata terhadap Batavia melalui Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada 25 September 2008. Pada tanggal 4 Maret 2009 lalu, untuk pertama
kalinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan
terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan
Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang
merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi
yang berbeda. Agar gugatan tidak sia-sia, permohonan sita jaminan diajukan agar
selama perkara berlangsung Batavia tidak memindahtangankan atau
memperjualbelikan asetnya. Ketujuh pesawat Batavia berstatus sita jaminan
sampai kewajibannya dilunasi. Batavia juga dihukum membayar sisa tagihan kepada
GMF atas biaya penggantian dan perbaikan mesin bearing pesawat Batavia.
Maskapai penerbangan itu terbukti melakukan wanprestasi terhadap pembayaran
utang sebesar AS$ 256.266 plus bunga 6 persen per tahun terhitung sejak 17
November 2007. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menolak
seluruh gugatan yang diajukan PT Metro Batavia terhadap GMF AeroAsia dalam
perkara kerusakan dua engine berkode ESN 857854 dan ESN 724662.
Keputusan ini dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
11 Maret 2009.
Meski ketujuh pesawat Batavia disita, pesawat Batavia masih
bisa beroperasi selama masa sitaan di wilayah Indonesia. Karena apabila pesawat
berada di luar negeri, pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan eksekusi. Hal itu untuk menjaga kepentingan transportasi umum tetap
terlayani. Izin operasional ini masuk dalam penetapan sita jaminan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret
2009 yang diumumkan kuasa hukum Garuda, Adnan Buyung Nasution. Dalam hal ini
berdasarkan Pasal 227 HIR dan Pasal 1131 KUHPerdata, semua jenis atau bentuk
harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, menjadi
tanggungan atau jaminan untuk segala utang debitur. Sita jaminan hanya dilarang
terhadap hewan dan barang yang bisa digunakan untuk menjalankan pencaharian
debitur. Pesawat terbang bisa dijadikan objek sita jaminan. Pesawat tidak
dikategorikan sebagai barang yang diatur dalam Pasal 196 HIR, melainkan sebagai
alat perdagangan.
Batavia melaporkan penyitaan kepada Departemen Perhubungan
supaya dicatat, atas pesawat yang disita ke Direktorat Kelaikan Udara dan
Pengoperasian Pesawat Udara Ditjen Pehubungan Udara Departemen Perhubungan.
Pencatatan itu terkait dengan identifikasi dan status pesawat agar sita jaminan
tidak sia-sia, termasuk setiap perubahan terhadap pesawat selama dalam masa
sitaan. Selain itu, Batavia harus merawat pesawat sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku. Majelis hakim membebankan biaya perawatan itu ke Batavia.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus wanprestasi antara PT. Metro Batavia dan
PT. Garuda Maintanence Facility yang sudah dibahas sebelumnya, Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat
terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst.
GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200
dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Yang menjadi
pertanyaannya adalah, apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai
dengan penerapan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR?
Di dalam Pasal 227 HIR disebutkan bahwa “Jika ada sangka beralasan
bahwa Tergugat akan menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan
maksud akan menjauhkan barang tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan
Penggugat Pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas barang
tersebut untuk menjaga/menjamin hak Penggugat”. Isi pasal tersebut, sesuai
dengan permohonan sita jaminan yang diajukan PT. GMF agar selama perkara
berlangsung, Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya.
Pasal 1311 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perserorangan. Pihak GMF sejak semula telah meminta kepada Batavia
Air agar hartanya, yaitu tujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat
Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda,
secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang. Sehingga apabila dikemudian
hari pada saat jatuh tempo PT. Batavia Air tidak dapat menepati janjinya
untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta tergugat tersebut dapat
dieksekusi oleh penggugat melalui prosedur tertentu.
Pasal 196 HIR menyatakan bahwa jika pihak yang dikalahkan
tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak
yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat,
kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat
menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu
serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang
ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
Berdasarkan kasus wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Batavia
terhadap PT. GMF dan analisis kasus yang sesuai dengan Pasal 227 HIR, Pasal
1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR, maka kami menyatakan bahwa kasus wanprestasi
GMF terhadap Batavia dibenarkan untuk melakukan sita jaminan sampai Batavia
dapat melunasi utang
B. CONTOH KASUS
PERIKATAN (PT. SENTRA BISNIS)
Awalnya, telah dibuka dan disewakan
untuk pertokoan di PT Sentra Bisnis. pihak pengelola memasarkannya adalah
secara persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat
Depok. Sumardi adalah salah satu diantara pedagang yang menerima
ajakan PT Sentra Bisnis, yang tinggal di Bekasi. Tarmin memanfaatkan
ruangan seluas 758,98 M2 Lantai I itu untuk menjual barang elektronik
dengan nama Master Electronik. 6 bulan berlalu Sumardi menempati
ruko itu, pengelola mengajak Sumardi membuat “Perjanjian Sewa Menyewa”
dihadapan Notaris. Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan
ruko, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut
dengan sewa menyewa ruangan. Sumardi bersedia membayar semua
kewajibannya pada PT Sentra Bisnis, tiap bulan terhitung sejak Mei 2008 s/d 30
April 2008 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 19 dan denda 2 0/00 (dua
permil) perhari untuk kelambatan pembayaran. Kesepakatan antara
pengelola PT Sentra Bisnis dengan Sumardi dilakukan dalam Akte Notaris Ahmad
Sukur No. 26 Tanggal 12/10/2008.
Tetapi perjanjian antara keduanya
agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Sumardi ternyata tidak pernah
dipenuhi, Sumardi menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga
tagihan demi tagihan pengelola tidak pernah dipedulikannya. Bahkan
menurutnya, Akte No. 26 tersebut, tidak berlaku karena pihak PT. Sentra Bisnis
telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk
menunda pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Sumardi akan
dibicarakan kembali di akhir tahun 2008. Namun pengelola berpendapat
sebaliknya. Akte No. 26 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap
seperti yang tercantum pada Akta tersebut. Hingga 10 Maret 2009, Sumardi
seharusnya membayar Rp. 18.756.879,33 kepada PT Sentra Bisnis. Meski
kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya
terus bertambah, Sumardi tetap berkeras untuk tidak
membayarnya. Pengelola, yang mengajak Sumardi meramaikan pertokoan
itu. Pihak pengelola menutup Master Electronik secara paksa. Selain
itu, pengelola menggugat Sumardi di Pengadilan Negeri Depok.
Analisis kasus
Setelah
pihak PT Sentra Bisnis mengajak Sumardi untuk berjualan di komplek
pertokoan di pusat kota Depok, maka secara tidak langsung PT Sentra Bisnis
telah melaksanakan kerjasama kontrak dengan Sumardi yang dibuktikan dengan
membuat perjanjian sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan
pasal 1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sehingga
dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak PT Sentra
Bisnis dan Sumardi mempunyai keterikatan untuk memberikan atau berbuat
sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.
Perjanjian
tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah pihak, karena perjanjian yang
telah dilakukan oleh PT Sentra Bisnis dan Sumardi tersebut dianggap sudah
memenuhi syarat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1320 BW.Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat :
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu
hal tertentu;
4. Suatu
sebab yang halal.
Perjanjian
diatas bisa dikatakan sudah adanya kesepakatan, karena pihak PT Sentra Bisnis
dan Sumardi dengan rela tanpa ada paksaan menandatangani isi perjanjian
Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT Sumardi yang dibuktikan dihadapan
Notaris. Namun pada kenyataannya, Sumardi tidak pernah memenuhi kewajibannya
untuk membayar semua kewajibannya kepada PT Sentra Bisnis, dia tidak pernah
peduli walaupun tagihan demi tagihan yang datang kepanya, tapi dia tetap berisi
keras untuk tidak membayarnya. Maka dari sini Sumardi bisa
dinyatakan sebagai pihak yang melanggar perjanjian.
Dengan
alasan inilah pihak PT Sentra Bisnis setempat melakukan penutupan Master
Electronik secara paksa dan menggugat Sumardi di Pengadilan Negeri Depok. Dan
jika di kaitkan dengan Undang-undang yang ada dalam BW, tindakan Pihak PT
Sentra Bisnis bisa dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan bahwa
:Dalam pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan segala
sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta
supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang
telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut
penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu. Dari pasal diatas,
maka pihak PT Sentra Bisnis bisa menuntut kepada Sumardi yang tidak memenuhi
suatu perikatan dan dia dapat dikenai denda untuk membayar semua tagihan
bulanan kepada PT Sentra Bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar